Rabu, 06 Agustus 2014

Kopi Hitam = Angan Kelam?


Tak ada yang lebih mengertiku selain laptop kesayangan. Hal yang slalu setia menemaniku dalam menjalani hariku setelah keluargaku. Aku memang manusia pendiam, aku tak seperti mereka yang slalu memanfaatkan waktu lenggang untuk berdandan, berbelanja, jalan-jalan ataupun yang lain. Aku selalu menghabiskan waktu lenggangku untuk menatap laptop, entah apa yang aku lakukan yang penting didepanku ada sebuah laptop yang menemaniku. Bersama laptop kesayangan dan berada di kedai langganan. Tak ada yang jauh lebih indah selain itu. Mereka saling menyatu dan memberi seribu imajinasi untukku.
            “Bolehkah aku ikut duduk, sebangku denganmu? Yang lain penuh” Ku dengar suara lelaki menyapaku.
            “Silahkan.” Jawabku singkat tanpa melihat wajahnya sama sekali.
            Kita duduk dalam satu bangku tetapi dengan kesibukan masing-masing. Tak ada obrolan sedikitpun diantara kita. Hanya aku atau dia sesekali memandang sejenak untuk memastikan tidak ada yang aneh. Tapi aku bersyukur dia tak menganggu ketenangan dan kenyamananku, ya walaupun ada rasa canggung.
            “Apakah kau hobi menulis?” Tiba-tiba muncul pertanyaan dari lelaki yang takku kenal.
            “Ya begitulah. Menulis bisa membuatku menjadi diri sendiri. Merasa ada dalam hal yangku tulis dan aku mencoba mawas diri apakah ini yang ada pada diri ini.” Jawabku dengan santai dan tetap menatap laptop.
            “Menarik. Tetapi begitu menariknyakah laptopmu sehingga kau bicara dengan orang lainpun kau tetap menatapnya? Hehe..”
            Aku kaget dengan apa yang telah ia ucapkan. Baru kali ini ada lelaki yang berani mengajakku bercanda dan mengobrol sedekat ini padahal raut wajahku menunjukan aura negatif padanya. Aku tak menjawab apa-apa. Aku hanya tersenyum padanya dan kali ini aku menatap wajahnya.
            “Ku fikir kau perlu belajar dari kopi hitam. Saat kau melihatnya dia adalah sosok yang kelam dan takkan pernah menghasilkan kenikmatan, tapi setelah kau minum? Manisnya akan terasa saat itu juga. Bukan dia yang terlarut oleh keadaan sekitar, tapi dia yang melaruktkan sekitar. Walaupun begitu dia menghargai orang yang menginginkannya maka ia memberi manis pada akhirnya. Aku duluan ya.” Katanya dengan sibuk membereskan laptop dan dia bergegas pergi meninggalkan aku. Kini aku sendiri.
            Aku tak menghiraukannya sama sekali. Aku hanya melihatnya yang sedang membereskan laptop dan beranjak pergi menjauh. Aku tak mengeluarkan kata sedikitpun dengannya. Selang beberapa menit kemudian akupun pulang.
***
            Waktu berjalan dengan maunya. Beberapa kali aku datang ke kedai langgananku aku tak pernah lagi bertemu dengan sosok lelaki pada waktu itu yang sampai saat ini aku tak mengenalinya. Anehnya aku akhir-akhir ini sering terbayang raut wajahnya yang bersinar. Apalagi dengan kata-katanya, sering terbayang dalam pikiran. Tadinya aku tak mencerna sedikitpun kata-kata tentang kopi hitam. Tapi malam ini berbeda, aku pergi ke dapur dan membuat kopi hitam tukku minum dan menemaniku. Aku mencobanya, tadinya memang aku tak suka sama sekali. Tapi aku tetap mencoba, sedikit. Manis, sangat manis. Aku mencoba mencerna kata-katanya.
“Benar saja kopi ini manis kan aku tadi kasih gula. Jadi ya bukan karna kopinya menghargai.” Aku berbicara sendiri. Kata itu sangat sulit ku cerna.
“Tapi... Kopi ini manis karna orang yang menginginkannya memberi unsur manis padanya, dia tak membiarkan sang kopi hitam tetap dianggap kelam bagi orang yang memandang.” Lanjutku.
Aku bergegas berdiri dan memandang diriku sendiri dengan cermin almari. Aku berdiri di depan cermin tanpa ekspresi sedikitpun. Aku diam dan aku memandang dengan sangat antusias dan berusaha menemukan apa yang lelaki itu maksud. Aku mencari apa hubungan kopi hitam dan aku.
“Kopi hitam, hanya kelam saat dipandang. Aku diam membisu, tak ada harapan bagi yang datang. Kopi melarutkan, bukan terlarutkan dengan keadaan sekitar tapi ia tetap memberi rasa manis pada orang yang menginginkan. Aku tak melarutkan ataupun terlarutkan tapi aku tetap terdiam, walaupun aku tlah diberi unsur manis pada orang yang datang.” Aku masih tetap berusaha mencari maksud yang tersirat dalam katanya.
“Aku mengerti. Pantas ia menyuruhku belajar dari kopi.” Ucapku dalam batin. Aku masih berdiri di depan cermin tapi kali ini aku tersenyum melihat diriku sendiri.
“Memberi senyum ataupun aura positif pada orang yang telah memberi unsur manis tak slalu berarti aku akan larut dengan keadaan . Aku hanya menghargai mereka; yang datang dan memberi unsur manis. Aku mengerti.” Ucapku sambil menghela nafas dan semakin memekarkan senyuman.
Entah mengapa hati ini terasa tenang setelah aku menemukan jawaban yang semalaman iniku cari. Aku tak pernah merasakan hal seperti ini dengan lelaki manapun. Apalagi lelaki yang baruku kenal seperti dia. Tapi aku berfikir, namanya saja aku tidak tahu. Sudahlah, tidur saja ini sudah tengah malam.
Pagi ini aku hanya masuk dengan dua mata kuliahan. Setelah selesai aku menuju ke kedai langganan, tak lupa laptop kesayangan ikutku bawa. Sungguh baru kali ini aku masuk ke kedai dengan maksud selain ingin menulis dan menikmati hari. Dalam benakku aku ingin sekali bertemu dengan lelaki itu. Bodohnya aku menyimpan harapan seperti itu.
“Mbak kopi hitam 1 ya.” Kataku kepada pelayan kedai itu.
“Iya mbak silahkan ditunggu.”
Aku pergi, mencari tempat yang lengah memang agak susah jika sudah masuk ke kedai ini. Tidak ada yang kosong selain disamping lelaki yang sibuk dengan laptopnya.
“Gimana lagi yang kosong cuma ini. Terpaksa deh. Hmmm” Gerutuku dalam hati. Dan tiba-tiba aku teringat tentang si kopi hitam. Aku mengambil nafas dalam-dalam dan mengeluarkan senyuman.
“Permisi, boleh ikut duduk disini? Bangku lain penuh.” Sapaku dengan nada manis.
“Duduk aja, nggak apa-apa kok.” Lelaki itu menoleh padaku. Aku shock melihat siapa yang ada. Aku tersenyum dan duduk disampingnya.
“Hei kamu? Inget sama aku? Si kopi hitam. Hehehe” Sambarnya tiba-tiba saat aku telah duduk disampingnya.
“Inget kok inget. Iya si kopi hitam hehe” Jawabku dengan sedikit grogi dan jantung ini serasa sedang menjalani lomba balap lari. Lajunya sangat kencaaaang!
“Ini mbak kopi hitamnya” Sahut sang pelayan kedai dan menyodorkan kopi padaku.
“Terimakasih” Jawabku sambil tersenyum. Canggung sekali. Aku malu jika lelaki ini tahu aku memesan kopi hitam.
“Jadi sekarang mulai suka kopi hitam? Berarti suka aku? Hehe” Kata lelaki itu sambil bercanda.
“Ehh.. Enggak. Cuma iseng aja nyoba hehe..”
Kitapun melanjutkan niatan kita masing-masing untuk apa aku atau dia berada di Kedai yang sama. Perbincangan kita tetap berlanjut dengan manisnya. Seketika tumbuh bunga dalam jiwa dan muncul pelangi dalam hati. Kopi hitam benar-benar membuatku lebih nyaman dan lebih memahami diriku sendiri.
“Aku duluan ya, udah sore” Sapaku kepada lelaki itu yang tengah sibuk dengan laptopnya. Tak lupa aku menyisipkan sebuah senyuman.
“Oke aku juga mau pulang sebentar lagi.” Jawabnya sambil menatap mataku dan aku pergi meninggalkannya.
Aku berjalan menuju mobil dengan keadaan senyuman masih terlihat mekar di bibirku. Bayangan senyumnya masih ada. Ku rasa aku seperti orang gila kali ini. Yang kemarin jarang bahkan hampir tak pernah mengeluarkan senyuman, sekarang malah tersenyum tak ada hentinya.
***
Sesampainya di rumah aku langsung berbegas mandi dan mengerjakan tugas kuliah yang sudah menanti. Aku menuju tempat tidurku dan aku mendapati ada pesan masuk di handphoneku yang biasanya aku tak pernah mendapatkannya kecuali dari operator saja. Aku bergegas membuka.
“Pastikan senyum manismu kan tetap terjaga dimanapun dan apapun keadaannya. Belajarlah dari sang bulan yang selalu bersinar terang saat langit sedang kelam maupun terang. Saat sang keadaan sang bulan sedang lengkap maupun berkurang.                                                                                                                                           Aku sang kopi hitam.”
“Kopi hitam. Kenapa bisa tahu nomor handphoneku?” Pertanyaan mulai muncul dalam benakku.
Aku bingung harus menjawab apa, kata-kata yang muncul dari mulutnya selalu mendorong otakku tuk berfikir lebih lama karna memang tak mudah dicerna. Aku membalas pesan singkatnya dengan seadanya. Tapi sayang, dia tak membalasnya lagi.
“Kenapa tadi nggak kenalan? Bodohnya.” Gerutuku dalam hati karna ada sedikit penyesalan. Akupun segera tidur karna hari sudah hampir tengah malam.
***
Hari yangku lewati akhir-akhir ini terasa lebih sepi. Keluargaku pergi keluar kota karna ada acara. Dan kesendirianku sekarang lebih sering ku isi dengan lamunan. Lagi-lagi aneh, lamunanku sering terisi oleh dia, kopi hitam. Aku baru hampir 2 bulan mengenalnya tapi entah mengapa aku merasakan rasa yang berbeda. Dia seketika merubah duniaku yang hanya memiliki 1 warna menjadi dunia pelangi begitu saja.
Semakin cepat waktu berjalan di tempat dan semakin lama aku tak melihat sosok lelaki yang ada dilamunanku tempo hari. Tak ada kabar sedikitpun darinya. Mungkin hanya sesekali dia mengirim pesan singkat untukku. Aku tak mengerti dengan apa yang aku rasa ini.
“Apakah ini cinta? Tak mungkin secepat ini, aku tak pernah jatuh cinta sebelumnya. Tapi jika ini cinta sesederhanakah ini semua? Memikirkanmu, bayangmu muncul dalam lamunanku, dan dada ini serasa tak kasat saatku berdiri disampingmu. Cinta? Tidak. Bukan cinta.” Ucapku sambil menatap kontaknya yang ada di phonebookku. Tiba-tiba handphoneku bunyi. Ada orang yang menelfonku,.
Privat number? Siapa?” Kataku dalam hati. Aku takut ingin menjawabnya, tapi.. Aku akan coba.
“Hai, Karin! Kamu lagi apa? Aku ganggu nggak?” Sambarnya dengan tiba-tiba. Aku terdiam. Aku tak menjawab apa-apa.
“Kok diem? Oh maaf, pasti kamu bingung. Aku Bastian, kopi hitam. Hehe” Deg. Jantung ini seakan berhenti sejenak. Aku masih saja tetap terdiam.
“Rin? Karin? Riiiinnn?! Yaudah aku ganggu kayaknya. Bye..
“Eh iya,  Bas! Nggak ganggu kok. Nggak sama sekali. Ada apa tumben telfon?” Jawabku dengan sedikit grogi.
“Nah gitu dong. Nggak ada apa-apa kok, Rin. Cuma kangen aja sama kamu lama nggak ketemu hehe” Kata Bastian sambil bercanda. Tapi aku tak tahu sebenarnya dia bilang gitu tulus dari hati atau hanya bibir semata.
Perbincangan ini sangat cepat berlalu, sampai-sampai tak terasa sudah tengah malam. Aku berpamitan pada Bastian karna kantuk mata ini sudah tak tertahankan.
“Bas udah dulu ya besok lanjut lagi, udah ngantuk nih.” Kataku dengan nada agak lemah.
“Oh iya Rin udah tengah malem juga, maaf ya ganggu tidurmu hehe yaudah bye Rin..”
Aku belum sempat menjawab telfon Bastian sudah diputus. Yasudahlah tak apa. Masih ada waktu panjang. Akhirnya akupun tidur.
***
Entah mengapa setelah malam saat Bastian menelfonku, sifat dia berubah padaku. Dia sekarang kerap menghubungiku tuk menanyakan kabarku. Tak lupa perhatian manis selalu ia tunjukkan padaku. Bertemu dengannyapun menjadi hal yang biasa sekarang. Tak ada rasa canggung, hariku selalu terisi oleh senyuman.
Rasaku pada Bastian semakin kuat. Semakin berdiri tegap tanpa goyah karena goncangan tanah. Akarnya sudah benar-benar terikat dengan zat yang paling berarti; hati. Tapi aku takut jika aku terlalu cepat tuk mengatakan bahwa ini cinta. Aku belum siap menerima kenyataan bahwa ini hanya sebuah pelampiasan dan rasa ini hanya akan hinggap di perbatasan dan hilang kembali saat mulai berjalan lagi. Dan akupun memutuskan tuk berdiam diri disaat rasa ini berkembang lagi dan lagi.
Jam dinding mepercepat gerakan jarumnya. Waktu demi waktu berlalu. Aku dan lelaki itu; Bastian semakin mengenal satu sama lain dan semakin sering komunikasi kami.
“Lelaki ini benar-benar sudah merubah duniaku. Andaikan dia menjadi pendambing dalam hidupku, kanku jaga ia selalu.” Anganku dengan memeluk handphone yang ku genggam erat.
***
Aku merasa hari ini merupakan hari yang terlalu sepi tukku nikmati sendiri. Benar-benar tak ada sosok berarti yang mengelilingiku sampai saat ini. Aku putuskan untuk pergi ke kedai biasanya, siapa tahu aku bisa mengilangkan rasa penatku.
Seperti biasanya aku memesan secangkir kopi hitam dan mencari bangku yang masih ada celah tukku isi. Kali ini tak ada harapan sama sekali tuk bisa bertemu dengan Bastian. Memang tak ada rasa ingin bertemu dengannya.
“Nah akhirnya ada kursi kosong.” Syukurku dalam hati. Aku bergegas duduk dan mengeluarkan laptop dan charger yangku bawa tadi.
“Bastian! Lantas wanita yang ada di sampingnya siapa?” Ucapku dalam hati setelah mendapati Bastian dengan wanita bebincang akrab tepat di depanku.
“Hai Karin!” Sapa Bastian tiba-tiba di tengah asiknya obrolan mereka. Wanita yang berada di sampingnyapun turut menoleh padaku. Dan ternyata wanita itu Natalli, teman kecilku.
“Hai, Bas” Jawabku dengan santainya dan aku masih tetap bingung mengapa Bastian bisa bersama Natalli.
Aku langsung buang muka setelah menyapa Bastian. Hati ini hancur. Molekul-molekul yang tadinya saling berkaitan kini hancur kehilangan perekat. Aku mencoba untuk tetap menjaga emosi.
Calm down, Karin. Kamu wanita kuat.” Aku mulai menghibur diri, tapi tak bisa lagi. Aku memutuskan tuk pergi mencari kenyamanan sendiri.
Aku menuju ke taman dekat kampusku tuk menyari sebuah ketenangan. Syukur saat itu taman memang sedang sepi tak ada penghuni dan cuaca kali ini begitu menyejukkan hati. Tapi ternyata suasana luar tak mampu menyejukkan hati lebih dalam. Aku merasa terpuruk sekali saat itu. Apakah aku salah jika aku hanya memendam ini semua.
Tiba-tiba aku mendengar suara yang lirih sekali mengenai sampul buku yangku bawa. Aku melihatnya, ternyata dia; tetesan air mata. Aku segera mengusapnya dari bukuku maupun mataku. Takkan aku biarkan air mata ini dengan mudahnya menetes tak berguna.
Aku mencoba mencari kesibukan lainnya agar aku tak terlalu memikirkannya. Aku memutuskan untuk pergi ke mall. Memang jarang sekali bahkan nyaris tak pernah aku mengunjungi tempat seperti itu kecuali yang mengajak keluargaku dan itupun hanya saat hal-hal tertentu.
***
Setelah kejadian tempo hari Bastian semakin memberikan perhatian untukku. Sungguh aku merasa sangat bahagia, tapi disisi lain kejadian itu tak pernah lenyap dan menjadi bayang abadi.
Kali ini aku benar-benar tak bisa memungkiri akan rasa sayang ini. Lamunanku, mimpiku, hariku, bahkan tangisku selalu ada dia didalamnya. Kurang alasan apa jika ini memang cinta?
Siang itu, lamunanku terhenti berkat seseorang mengirim undangan untukku. Aku tak tahu itu undangan apa. Baru kali ini aku mendapatkan undangan untukku sendiri, bukan untuk ayah atau bunda. Aku membukanya dengan cepat karna sudah penasaran.
“Pernikahan Bastian dengan Natalli.” Bacaku dengan sangat lesu. Undangan yangku bawa terjatuh begitu saja. Air mata ini mengalir tak ada hentinya.
“Apa maksud dari semua ini, Bas? Mengapa kau datang jika kepergianmu sudah kau rencanakan. Mengapa membuat kenangan jika hanya akan mempercepat kepergian? Mengapa kau terangi duniaku jika akhirnya kau lagi yang menjadikan kelam? Mengapa Bas mengapa!” Ucapku bertubi-tubi dengan badan yang sangat lemah dan aku terjatuh dalam dinginnya lantai rumah.
Aku benar-benar tak mengerti mengapa Bastian seperti ini. Lalu apa gunanya perhatian yang slalu ia berikan padaku akhir-akhir lalu. Dia lelaki jahat. Dia tak pernah mengerti perasaanku. Aku benci dengan dia.
Aku berniatan tak akan datang dalam undangan pernikahan Bastian. Terlalu menyakitkan untukku. Aku berdiri, mengambil undangan yang terbuang tadi dan aku akan membakarnya sekarang juga. Setelah aku mengambilnya, ada selembar kertas yang terjatuh dari dalam. Aku mengambillnya.
“Tak ada yang lebih indah selain mawar merah yang memancarkan sinar cerah. Tak ada yang lebih berharga selain benda pemberian orang yang kita cinta. Dan tak ada yang lebih berarti selain bersama manusia-manusia yang terdekat kita. Tapi ada 1 yang lebih dari segalanya, saat kau berada di hati. Bukan maksudku menyakitimu, apa lagi mempermainkan perasaanmu. Bukan salah kita yang hanya saling memendam rasa. Aku tahu kau mencintaiku, aku tak sengaja membaca tulisan dalam laptopmu saat kau pergi. Tapi tak ada guna walaupun kita mempunyai rasa yang sama. Bukan karna aku hanya angan kelammu, tapi pendamping yang telah dipilihkan orang tuaku telah menanti. Aku tak bisa menolak lagi sekalipun hanya kaulah yang ada di hati. Maafkan aku, Karin. Sepenggal surat ini mungkin memang tak berarti untukmu. Tapi berkat ini, kau akan tahu jika aku juga menyayangimu.                                                                                                                                  Aku sang kopi hitam.”
Air mata ini meluncur dari pelindungnya. Sungguh tak tertahankan sakit yang ku rasa. Aku menyesal. Aku benci pada diriku sendiri. Mengapa aku tak mempunyai cukup nyali untuk membicarakan semua ini agar sakit yang ku terima pada akhirnya tak separah dan sepahit sekarang. Penyesalan memang terjadi pada akhir kenyataan. Dan saat ini aku memang tak bisa melakukan apa-apa selain menjalani dan menerima semua ini. Aku yakin Tuhan menyayangiku dan Tuhan kan membawa kebahagiaan setelah sakit yang begitu dalam.
“Aku memang mencintaimu, Bas. Aku akan bahagia jika kau menjadi milikku sekarang ataupun dimasa yang kan datang. Tapi Tuhan tak berkehendak seperti apa yang ku mau, Tuhan memiliki jalur yang berbeda tukku jalani. Tapi aku tak pernah menyesal pernah mengenalmu. Kelak kita kan berjumpa dengan manusia yang memang Tuhan ciptakan untuk mendampingi kita. Kopi hitam memang tak mengajarkanku tentang kehidupan yang kelam, ia memberikan sedikit rasa tukku nikmati sekarang juga. Tapi 1, kopi hitam yang membawaku menuju angan kelam; memilikimu dengan cara mencintai dalam diam.” Tulisku dalam buku diary yang basah karna tetesan air mata payah.
“Aku mencintaimu, sangat mencintaimu Bastian.” Ucapku dalam hati.

Kopi Hitam = Angan Kelam?


Tak ada yang lebih mengertiku selain laptop kesayangan. Hal yang slalu setia menemaniku dalam menjalani hariku setelah keluargaku. Aku memang manusia pendiam, aku tak seperti mereka yang slalu memanfaatkan waktu lenggang untuk berdandan, berbelanja, jalan-jalan ataupun yang lain. Aku selalu menghabiskan waktu lenggangku untuk menatap laptop, entah apa yang aku lakukan yang penting didepanku ada sebuah laptop yang menemaniku. Bersama laptop kesayangan dan berada di kedai langganan. Tak ada yang jauh lebih indah selain itu. Mereka saling menyatu dan memberi seribu imajinasi untukku.
            “Bolehkah aku ikut duduk, sebangku denganmu? Yang lain penuh” Ku dengar suara lelaki menyapaku.
            “Silahkan.” Jawabku singkat tanpa melihat wajahnya sama sekali.
            Kita duduk dalam satu bangku tetapi dengan kesibukan masing-masing. Tak ada obrolan sedikitpun diantara kita. Hanya aku atau dia sesekali memandang sejenak untuk memastikan tidak ada yang aneh. Tapi aku bersyukur dia tak menganggu ketenangan dan kenyamananku, ya walaupun ada rasa canggung.
            “Apakah kau hobi menulis?” Tiba-tiba muncul pertanyaan dari lelaki yang takku kenal.
            “Ya begitulah. Menulis bisa membuatku menjadi diri sendiri. Merasa ada dalam hal yangku tulis dan aku mencoba mawas diri apakah ini yang ada pada diri ini.” Jawabku dengan santai dan tetap menatap laptop.
            “Menarik. Tetapi begitu menariknyakah laptopmu sehingga kau bicara dengan orang lainpun kau tetap menatapnya? Hehe..”
            Aku kaget dengan apa yang telah ia ucapkan. Baru kali ini ada lelaki yang berani mengajakku bercanda dan mengobrol sedekat ini padahal raut wajahku menunjukan aura negatif padanya. Aku tak menjawab apa-apa. Aku hanya tersenyum padanya dan kali ini aku menatap wajahnya.
            “Ku fikir kau perlu belajar dari kopi hitam. Saat kau melihatnya dia adalah sosok yang kelam dan takkan pernah menghasilkan kenikmatan, tapi setelah kau minum? Manisnya akan terasa saat itu juga. Bukan dia yang terlarut oleh keadaan sekitar, tapi dia yang melaruktkan sekitar. Walaupun begitu dia menghargai orang yang menginginkannya maka ia memberi manis pada akhirnya. Aku duluan ya.” Katanya dengan sibuk membereskan laptop dan dia bergegas pergi meninggalkan aku. Kini aku sendiri.
            Aku tak menghiraukannya sama sekali. Aku hanya melihatnya yang sedang membereskan laptop dan beranjak pergi menjauh. Aku tak mengeluarkan kata sedikitpun dengannya. Selang beberapa menit kemudian akupun pulang.
***
            Waktu berjalan dengan maunya. Beberapa kali aku datang ke kedai langgananku aku tak pernah lagi bertemu dengan sosok lelaki pada waktu itu yang sampai saat ini aku tak mengenalinya. Anehnya aku akhir-akhir ini sering terbayang raut wajahnya yang bersinar. Apalagi dengan kata-katanya, sering terbayang dalam pikiran. Tadinya aku tak mencerna sedikitpun kata-kata tentang kopi hitam. Tapi malam ini berbeda, aku pergi ke dapur dan membuat kopi hitam tukku minum dan menemaniku. Aku mencobanya, tadinya memang aku tak suka sama sekali. Tapi aku tetap mencoba, sedikit. Manis, sangat manis. Aku mencoba mencerna kata-katanya.
“Benar saja kopi ini manis kan aku tadi kasih gula. Jadi ya bukan karna kopinya menghargai.” Aku berbicara sendiri. Kata itu sangat sulit ku cerna.
“Tapi... Kopi ini manis karna orang yang menginginkannya memberi unsur manis padanya, dia tak membiarkan sang kopi hitam tetap dianggap kelam bagi orang yang memandang.” Lanjutku.
Aku bergegas berdiri dan memandang diriku sendiri dengan cermin almari. Aku berdiri di depan cermin tanpa ekspresi sedikitpun. Aku diam dan aku memandang dengan sangat antusias dan berusaha menemukan apa yang lelaki itu maksud. Aku mencari apa hubungan kopi hitam dan aku.
“Kopi hitam, hanya kelam saat dipandang. Aku diam membisu, tak ada harapan bagi yang datang. Kopi melarutkan, bukan terlarutkan dengan keadaan sekitar tapi ia tetap memberi rasa manis pada orang yang menginginkan. Aku tak melarutkan ataupun terlarutkan tapi aku tetap terdiam, walaupun aku tlah diberi unsur manis pada orang yang datang.” Aku masih tetap berusaha mencari maksud yang tersirat dalam katanya.
“Aku mengerti. Pantas ia menyuruhku belajar dari kopi.” Ucapku dalam batin. Aku masih berdiri di depan cermin tapi kali ini aku tersenyum melihat diriku sendiri.
“Memberi senyum ataupun aura positif pada orang yang telah memberi unsur manis tak slalu berarti aku akan larut dengan keadaan . Aku hanya menghargai mereka; yang datang dan memberi unsur manis. Aku mengerti.” Ucapku sambil menghela nafas dan semakin memekarkan senyuman.
Entah mengapa hati ini terasa tenang setelah aku menemukan jawaban yang semalaman iniku cari. Aku tak pernah merasakan hal seperti ini dengan lelaki manapun. Apalagi lelaki yang baruku kenal seperti dia. Tapi aku berfikir, namanya saja aku tidak tahu. Sudahlah, tidur saja ini sudah tengah malam.
Pagi ini aku hanya masuk dengan dua mata kuliahan. Setelah selesai aku menuju ke kedai langganan, tak lupa laptop kesayangan ikutku bawa. Sungguh baru kali ini aku masuk ke kedai dengan maksud selain ingin menulis dan menikmati hari. Dalam benakku aku ingin sekali bertemu dengan lelaki itu. Bodohnya aku menyimpan harapan seperti itu.
“Mbak kopi hitam 1 ya.” Kataku kepada pelayan kedai itu.
“Iya mbak silahkan ditunggu.”
Aku pergi, mencari tempat yang lengah memang agak susah jika sudah masuk ke kedai ini. Tidak ada yang kosong selain disamping lelaki yang sibuk dengan laptopnya.
“Gimana lagi yang kosong cuma ini. Terpaksa deh. Hmmm” Gerutuku dalam hati. Dan tiba-tiba aku teringat tentang si kopi hitam. Aku mengambil nafas dalam-dalam dan mengeluarkan senyuman.
“Permisi, boleh ikut duduk disini? Bangku lain penuh.” Sapaku dengan nada manis.
“Duduk aja, nggak apa-apa kok.” Lelaki itu menoleh padaku. Aku shock melihat siapa yang ada. Aku tersenyum dan duduk disampingnya.
“Hei kamu? Inget sama aku? Si kopi hitam. Hehehe” Sambarnya tiba-tiba saat aku telah duduk disampingnya.
“Inget kok inget. Iya si kopi hitam hehe” Jawabku dengan sedikit grogi dan jantung ini serasa sedang menjalani lomba balap lari. Lajunya sangat kencaaaang!
“Ini mbak kopi hitamnya” Sahut sang pelayan kedai dan menyodorkan kopi padaku.
“Terimakasih” Jawabku sambil tersenyum. Canggung sekali. Aku malu jika lelaki ini tahu aku memesan kopi hitam.
“Jadi sekarang mulai suka kopi hitam? Berarti suka aku? Hehe” Kata lelaki itu sambil bercanda.
“Ehh.. Enggak. Cuma iseng aja nyoba hehe..”
Kitapun melanjutkan niatan kita masing-masing untuk apa aku atau dia berada di Kedai yang sama. Perbincangan kita tetap berlanjut dengan manisnya. Seketika tumbuh bunga dalam jiwa dan muncul pelangi dalam hati. Kopi hitam benar-benar membuatku lebih nyaman dan lebih memahami diriku sendiri.
“Aku duluan ya, udah sore” Sapaku kepada lelaki itu yang tengah sibuk dengan laptopnya. Tak lupa aku menyisipkan sebuah senyuman.
“Oke aku juga mau pulang sebentar lagi.” Jawabnya sambil menatap mataku dan aku pergi meninggalkannya.
Aku berjalan menuju mobil dengan keadaan senyuman masih terlihat mekar di bibirku. Bayangan senyumnya masih ada. Ku rasa aku seperti orang gila kali ini. Yang kemarin jarang bahkan hampir tak pernah mengeluarkan senyuman, sekarang malah tersenyum tak ada hentinya.
***
Sesampainya di rumah aku langsung berbegas mandi dan mengerjakan tugas kuliah yang sudah menanti. Aku menuju tempat tidurku dan aku mendapati ada pesan masuk di handphoneku yang biasanya aku tak pernah mendapatkannya kecuali dari operator saja. Aku bergegas membuka.
“Pastikan senyum manismu kan tetap terjaga dimanapun dan apapun keadaannya. Belajarlah dari sang bulan yang selalu bersinar terang saat langit sedang kelam maupun terang. Saat sang keadaan sang bulan sedang lengkap maupun berkurang.                                                                                                                                           Aku sang kopi hitam.”
“Kopi hitam. Kenapa bisa tahu nomor handphoneku?” Pertanyaan mulai muncul dalam benakku.
Aku bingung harus menjawab apa, kata-kata yang muncul dari mulutnya selalu mendorong otakku tuk berfikir lebih lama karna memang tak mudah dicerna. Aku membalas pesan singkatnya dengan seadanya. Tapi sayang, dia tak membalasnya lagi.
“Kenapa tadi nggak kenalan? Bodohnya.” Gerutuku dalam hati karna ada sedikit penyesalan. Akupun segera tidur karna hari sudah hampir tengah malam.
***
Hari yangku lewati akhir-akhir ini terasa lebih sepi. Keluargaku pergi keluar kota karna ada acara. Dan kesendirianku sekarang lebih sering ku isi dengan lamunan. Lagi-lagi aneh, lamunanku sering terisi oleh dia, kopi hitam. Aku baru hampir 2 bulan mengenalnya tapi entah mengapa aku merasakan rasa yang berbeda. Dia seketika merubah duniaku yang hanya memiliki 1 warna menjadi dunia pelangi begitu saja.
Semakin cepat waktu berjalan di tempat dan semakin lama aku tak melihat sosok lelaki yang ada dilamunanku tempo hari. Tak ada kabar sedikitpun darinya. Mungkin hanya sesekali dia mengirim pesan singkat untukku. Aku tak mengerti dengan apa yang aku rasa ini.
“Apakah ini cinta? Tak mungkin secepat ini, aku tak pernah jatuh cinta sebelumnya. Tapi jika ini cinta sesederhanakah ini semua? Memikirkanmu, bayangmu muncul dalam lamunanku, dan dada ini serasa tak kasat saatku berdiri disampingmu. Cinta? Tidak. Bukan cinta.” Ucapku sambil menatap kontaknya yang ada di phonebookku. Tiba-tiba handphoneku bunyi. Ada orang yang menelfonku,.
Privat number? Siapa?” Kataku dalam hati. Aku takut ingin menjawabnya, tapi.. Aku akan coba.
“Hai, Karin! Kamu lagi apa? Aku ganggu nggak?” Sambarnya dengan tiba-tiba. Aku terdiam. Aku tak menjawab apa-apa.
“Kok diem? Oh maaf, pasti kamu bingung. Aku Bastian, kopi hitam. Hehe” Deg. Jantung ini seakan berhenti sejenak. Aku masih saja tetap terdiam.
“Rin? Karin? Riiiinnn?! Yaudah aku ganggu kayaknya. Bye..
“Eh iya,  Bas! Nggak ganggu kok. Nggak sama sekali. Ada apa tumben telfon?” Jawabku dengan sedikit grogi.
“Nah gitu dong. Nggak ada apa-apa kok, Rin. Cuma kangen aja sama kamu lama nggak ketemu hehe” Kata Bastian sambil bercanda. Tapi aku tak tahu sebenarnya dia bilang gitu tulus dari hati atau hanya bibir semata.
Perbincangan ini sangat cepat berlalu, sampai-sampai tak terasa sudah tengah malam. Aku berpamitan pada Bastian karna kantuk mata ini sudah tak tertahankan.
“Bas udah dulu ya besok lanjut lagi, udah ngantuk nih.” Kataku dengan nada agak lemah.
“Oh iya Rin udah tengah malem juga, maaf ya ganggu tidurmu hehe yaudah bye Rin..”
Aku belum sempat menjawab telfon Bastian sudah diputus. Yasudahlah tak apa. Masih ada waktu panjang. Akhirnya akupun tidur.
***
Entah mengapa setelah malam saat Bastian menelfonku, sifat dia berubah padaku. Dia sekarang kerap menghubungiku tuk menanyakan kabarku. Tak lupa perhatian manis selalu ia tunjukkan padaku. Bertemu dengannyapun menjadi hal yang biasa sekarang. Tak ada rasa canggung, hariku selalu terisi oleh senyuman.
Rasaku pada Bastian semakin kuat. Semakin berdiri tegap tanpa goyah karena goncangan tanah. Akarnya sudah benar-benar terikat dengan zat yang paling berarti; hati. Tapi aku takut jika aku terlalu cepat tuk mengatakan bahwa ini cinta. Aku belum siap menerima kenyataan bahwa ini hanya sebuah pelampiasan dan rasa ini hanya akan hinggap di perbatasan dan hilang kembali saat mulai berjalan lagi. Dan akupun memutuskan tuk berdiam diri disaat rasa ini berkembang lagi dan lagi.
Jam dinding mepercepat gerakan jarumnya. Waktu demi waktu berlalu. Aku dan lelaki itu; Bastian semakin mengenal satu sama lain dan semakin sering komunikasi kami.
“Lelaki ini benar-benar sudah merubah duniaku. Andaikan dia menjadi pendambing dalam hidupku, kanku jaga ia selalu.” Anganku dengan memeluk handphone yang ku genggam erat.
***
Aku merasa hari ini merupakan hari yang terlalu sepi tukku nikmati sendiri. Benar-benar tak ada sosok berarti yang mengelilingiku sampai saat ini. Aku putuskan untuk pergi ke kedai biasanya, siapa tahu aku bisa mengilangkan rasa penatku.
Seperti biasanya aku memesan secangkir kopi hitam dan mencari bangku yang masih ada celah tukku isi. Kali ini tak ada harapan sama sekali tuk bisa bertemu dengan Bastian. Memang tak ada rasa ingin bertemu dengannya.
“Nah akhirnya ada kursi kosong.” Syukurku dalam hati. Aku bergegas duduk dan mengeluarkan laptop dan charger yangku bawa tadi.
“Bastian! Lantas wanita yang ada di sampingnya siapa?” Ucapku dalam hati setelah mendapati Bastian dengan wanita bebincang akrab tepat di depanku.
“Hai Karin!” Sapa Bastian tiba-tiba di tengah asiknya obrolan mereka. Wanita yang berada di sampingnyapun turut menoleh padaku. Dan ternyata wanita itu Natalli, teman kecilku.
“Hai, Bas” Jawabku dengan santainya dan aku masih tetap bingung mengapa Bastian bisa bersama Natalli.
Aku langsung buang muka setelah menyapa Bastian. Hati ini hancur. Molekul-molekul yang tadinya saling berkaitan kini hancur kehilangan perekat. Aku mencoba untuk tetap menjaga emosi.
Calm down, Karin. Kamu wanita kuat.” Aku mulai menghibur diri, tapi tak bisa lagi. Aku memutuskan tuk pergi mencari kenyamanan sendiri.
Aku menuju ke taman dekat kampusku tuk menyari sebuah ketenangan. Syukur saat itu taman memang sedang sepi tak ada penghuni dan cuaca kali ini begitu menyejukkan hati. Tapi ternyata suasana luar tak mampu menyejukkan hati lebih dalam. Aku merasa terpuruk sekali saat itu. Apakah aku salah jika aku hanya memendam ini semua.
Tiba-tiba aku mendengar suara yang lirih sekali mengenai sampul buku yangku bawa. Aku melihatnya, ternyata dia; tetesan air mata. Aku segera mengusapnya dari bukuku maupun mataku. Takkan aku biarkan air mata ini dengan mudahnya menetes tak berguna.
Aku mencoba mencari kesibukan lainnya agar aku tak terlalu memikirkannya. Aku memutuskan untuk pergi ke mall. Memang jarang sekali bahkan nyaris tak pernah aku mengunjungi tempat seperti itu kecuali yang mengajak keluargaku dan itupun hanya saat hal-hal tertentu.
***
Setelah kejadian tempo hari Bastian semakin memberikan perhatian untukku. Sungguh aku merasa sangat bahagia, tapi disisi lain kejadian itu tak pernah lenyap dan menjadi bayang abadi.
Kali ini aku benar-benar tak bisa memungkiri akan rasa sayang ini. Lamunanku, mimpiku, hariku, bahkan tangisku selalu ada dia didalamnya. Kurang alasan apa jika ini memang cinta?
Siang itu, lamunanku terhenti berkat seseorang mengirim undangan untukku. Aku tak tahu itu undangan apa. Baru kali ini aku mendapatkan undangan untukku sendiri, bukan untuk ayah atau bunda. Aku membukanya dengan cepat karna sudah penasaran.
“Pernikahan Bastian dengan Natalli.” Bacaku dengan sangat lesu. Undangan yangku bawa terjatuh begitu saja. Air mata ini mengalir tak ada hentinya.
“Apa maksud dari semua ini, Bas? Mengapa kau datang jika kepergianmu sudah kau rencanakan. Mengapa membuat kenangan jika hanya akan mempercepat kepergian? Mengapa kau terangi duniaku jika akhirnya kau lagi yang menjadikan kelam? Mengapa Bas mengapa!” Ucapku bertubi-tubi dengan badan yang sangat lemah dan aku terjatuh dalam dinginnya lantai rumah.
Aku benar-benar tak mengerti mengapa Bastian seperti ini. Lalu apa gunanya perhatian yang slalu ia berikan padaku akhir-akhir lalu. Dia lelaki jahat. Dia tak pernah mengerti perasaanku. Aku benci dengan dia.
Aku berniatan tak akan datang dalam undangan pernikahan Bastian. Terlalu menyakitkan untukku. Aku berdiri, mengambil undangan yang terbuang tadi dan aku akan membakarnya sekarang juga. Setelah aku mengambilnya, ada selembar kertas yang terjatuh dari dalam. Aku mengambillnya.
“Tak ada yang lebih indah selain mawar merah yang memancarkan sinar cerah. Tak ada yang lebih berharga selain benda pemberian orang yang kita cinta. Dan tak ada yang lebih berarti selain bersama manusia-manusia yang terdekat kita. Tapi ada 1 yang lebih dari segalanya, saat kau berada di hati. Bukan maksudku menyakitimu, apa lagi mempermainkan perasaanmu. Bukan salah kita yang hanya saling memendam rasa. Aku tahu kau mencintaiku, aku tak sengaja membaca tulisan dalam laptopmu saat kau pergi. Tapi tak ada guna walaupun kita mempunyai rasa yang sama. Bukan karna aku hanya angan kelammu, tapi pendamping yang telah dipilihkan orang tuaku telah menanti. Aku tak bisa menolak lagi sekalipun hanya kaulah yang ada di hati. Maafkan aku, Karin. Sepenggal surat ini mungkin memang tak berarti untukmu. Tapi berkat ini, kau akan tahu jika aku juga menyayangimu.                                                                                                                                  Aku sang kopi hitam.”
Air mata ini meluncur dari pelindungnya. Sungguh tak tertahankan sakit yang ku rasa. Aku menyesal. Aku benci pada diriku sendiri. Mengapa aku tak mempunyai cukup nyali untuk membicarakan semua ini agar sakit yang ku terima pada akhirnya tak separah dan sepahit sekarang. Penyesalan memang terjadi pada akhir kenyataan. Dan saat ini aku memang tak bisa melakukan apa-apa selain menjalani dan menerima semua ini. Aku yakin Tuhan menyayangiku dan Tuhan kan membawa kebahagiaan setelah sakit yang begitu dalam.
“Aku memang mencintaimu, Bas. Aku akan bahagia jika kau menjadi milikku sekarang ataupun dimasa yang kan datang. Tapi Tuhan tak berkehendak seperti apa yang ku mau, Tuhan memiliki jalur yang berbeda tukku jalani. Tapi aku tak pernah menyesal pernah mengenalmu. Kelak kita kan berjumpa dengan manusia yang memang Tuhan ciptakan untuk mendampingi kita. Kopi hitam memang tak mengajarkanku tentang kehidupan yang kelam, ia memberikan sedikit rasa tukku nikmati sekarang juga. Tapi 1, kopi hitam yang membawaku menuju angan kelam; memilikimu dengan cara mencintai dalam diam.” Tulisku dalam buku diary yang basah karna tetesan air mata payah.
“Aku mencintaimu, sangat mencintaimu Bastian.” Ucapku dalam hati.