Tak ada yang lebih mengertiku selain laptop kesayangan. Hal yang slalu setia menemaniku dalam menjalani hariku setelah keluargaku. Aku memang manusia pendiam, aku tak seperti mereka yang slalu memanfaatkan waktu lenggang untuk berdandan, berbelanja, jalan-jalan ataupun yang lain. Aku selalu menghabiskan waktu lenggangku untuk menatap laptop, entah apa yang aku lakukan yang penting didepanku ada sebuah laptop yang menemaniku. Bersama laptop kesayangan dan berada di kedai langganan. Tak ada yang jauh lebih indah selain itu. Mereka saling menyatu dan memberi seribu imajinasi untukku.
“Bolehkah
aku ikut duduk, sebangku denganmu? Yang lain penuh” Ku dengar suara lelaki
menyapaku.
“Silahkan.”
Jawabku singkat tanpa melihat wajahnya sama sekali.
Kita
duduk dalam satu bangku tetapi dengan kesibukan masing-masing. Tak ada obrolan
sedikitpun diantara kita. Hanya aku atau dia sesekali memandang sejenak untuk
memastikan tidak ada yang aneh. Tapi aku bersyukur dia tak menganggu ketenangan
dan kenyamananku, ya walaupun ada rasa canggung.
“Apakah
kau hobi menulis?” Tiba-tiba muncul pertanyaan dari lelaki yang takku kenal.
“Ya
begitulah. Menulis bisa membuatku menjadi diri sendiri. Merasa ada dalam hal
yangku tulis dan aku mencoba mawas diri apakah ini yang ada pada diri ini.”
Jawabku dengan santai dan tetap menatap laptop.
“Menarik.
Tetapi begitu menariknyakah laptopmu sehingga kau bicara dengan orang lainpun
kau tetap menatapnya? Hehe..”
Aku
kaget dengan apa yang telah ia ucapkan. Baru kali ini ada lelaki yang berani
mengajakku bercanda dan mengobrol sedekat ini padahal raut wajahku menunjukan
aura negatif padanya. Aku tak menjawab apa-apa. Aku hanya tersenyum padanya dan
kali ini aku menatap wajahnya.
“Ku
fikir kau perlu belajar dari kopi hitam. Saat kau melihatnya dia adalah sosok
yang kelam dan takkan pernah menghasilkan kenikmatan, tapi setelah kau minum?
Manisnya akan terasa saat itu juga. Bukan dia yang terlarut oleh keadaan
sekitar, tapi dia yang melaruktkan sekitar. Walaupun begitu dia menghargai
orang yang menginginkannya maka ia memberi manis pada akhirnya. Aku duluan ya.”
Katanya dengan sibuk membereskan laptop dan dia bergegas pergi meninggalkan
aku. Kini aku sendiri.
Aku
tak menghiraukannya sama sekali. Aku hanya melihatnya yang sedang membereskan
laptop dan beranjak pergi menjauh. Aku tak mengeluarkan kata sedikitpun
dengannya. Selang beberapa menit kemudian akupun pulang.
***
Waktu
berjalan dengan maunya. Beberapa kali aku datang ke kedai langgananku aku tak
pernah lagi bertemu dengan sosok lelaki pada waktu itu yang sampai saat ini aku
tak mengenalinya. Anehnya aku akhir-akhir ini sering terbayang raut wajahnya
yang bersinar. Apalagi dengan kata-katanya, sering terbayang dalam pikiran. Tadinya
aku tak mencerna sedikitpun kata-kata tentang kopi hitam. Tapi malam ini
berbeda, aku pergi ke dapur dan membuat kopi hitam tukku minum dan menemaniku.
Aku mencobanya, tadinya memang aku tak suka sama sekali. Tapi aku tetap
mencoba, sedikit. Manis, sangat manis. Aku mencoba mencerna kata-katanya.
“Benar saja kopi ini
manis kan aku tadi kasih gula. Jadi ya bukan karna kopinya menghargai.” Aku
berbicara sendiri. Kata itu sangat sulit ku cerna.
“Tapi... Kopi ini manis
karna orang yang menginginkannya memberi unsur manis padanya, dia tak
membiarkan sang kopi hitam tetap dianggap kelam bagi orang yang memandang.” Lanjutku.
Aku bergegas berdiri
dan memandang diriku sendiri dengan cermin almari. Aku berdiri di depan cermin
tanpa ekspresi sedikitpun. Aku diam dan aku memandang dengan sangat antusias
dan berusaha menemukan apa yang lelaki itu maksud. Aku mencari apa hubungan
kopi hitam dan aku.
“Kopi hitam, hanya
kelam saat dipandang. Aku diam membisu, tak ada harapan bagi yang datang. Kopi
melarutkan, bukan terlarutkan dengan keadaan sekitar tapi ia tetap memberi rasa
manis pada orang yang menginginkan. Aku tak melarutkan ataupun terlarutkan tapi
aku tetap terdiam, walaupun aku tlah diberi unsur manis pada orang yang datang.”
Aku masih tetap berusaha mencari maksud yang tersirat dalam katanya.
“Aku mengerti. Pantas ia
menyuruhku belajar dari kopi.” Ucapku dalam batin. Aku masih berdiri di depan
cermin tapi kali ini aku tersenyum melihat diriku sendiri.
“Memberi senyum ataupun
aura positif pada orang yang telah memberi unsur manis tak slalu berarti aku
akan larut dengan keadaan . Aku hanya menghargai mereka; yang datang dan
memberi unsur manis. Aku mengerti.” Ucapku sambil menghela nafas dan semakin
memekarkan senyuman.
Entah mengapa hati ini
terasa tenang setelah aku menemukan jawaban yang semalaman iniku cari. Aku tak
pernah merasakan hal seperti ini dengan lelaki manapun. Apalagi lelaki yang
baruku kenal seperti dia. Tapi aku berfikir, namanya saja aku tidak tahu.
Sudahlah, tidur saja ini sudah tengah malam.
Pagi ini aku hanya
masuk dengan dua mata kuliahan. Setelah selesai aku menuju ke kedai langganan,
tak lupa laptop kesayangan ikutku bawa. Sungguh baru kali ini aku masuk ke
kedai dengan maksud selain ingin menulis dan menikmati hari. Dalam benakku aku
ingin sekali bertemu dengan lelaki itu. Bodohnya aku menyimpan harapan seperti
itu.
“Mbak kopi hitam 1 ya.”
Kataku kepada pelayan kedai itu.
“Iya mbak silahkan
ditunggu.”
Aku pergi, mencari
tempat yang lengah memang agak susah jika sudah masuk ke kedai ini. Tidak ada
yang kosong selain disamping lelaki yang sibuk dengan laptopnya.
“Gimana lagi yang
kosong cuma ini. Terpaksa deh. Hmmm” Gerutuku dalam hati. Dan tiba-tiba aku teringat
tentang si kopi hitam. Aku mengambil nafas dalam-dalam dan mengeluarkan
senyuman.
“Permisi, boleh ikut
duduk disini? Bangku lain penuh.” Sapaku dengan nada manis.
“Duduk aja, nggak
apa-apa kok.” Lelaki itu menoleh padaku. Aku shock melihat siapa yang ada. Aku tersenyum dan duduk disampingnya.
“Hei kamu? Inget sama
aku? Si kopi hitam. Hehehe” Sambarnya tiba-tiba saat aku telah duduk
disampingnya.
“Inget kok inget. Iya
si kopi hitam hehe” Jawabku dengan sedikit grogi dan jantung ini serasa sedang
menjalani lomba balap lari. Lajunya sangat kencaaaang!
“Ini mbak kopi
hitamnya” Sahut sang pelayan kedai dan menyodorkan kopi padaku.
“Terimakasih” Jawabku
sambil tersenyum. Canggung sekali. Aku malu jika lelaki ini tahu aku memesan
kopi hitam.
“Jadi sekarang mulai
suka kopi hitam? Berarti suka aku? Hehe” Kata lelaki itu sambil bercanda.
“Ehh.. Enggak. Cuma
iseng aja nyoba hehe..”
Kitapun melanjutkan
niatan kita masing-masing untuk apa aku atau dia berada di Kedai yang sama.
Perbincangan kita tetap berlanjut dengan manisnya. Seketika tumbuh bunga dalam
jiwa dan muncul pelangi dalam hati. Kopi hitam benar-benar membuatku lebih
nyaman dan lebih memahami diriku sendiri.
“Aku duluan ya, udah
sore” Sapaku kepada lelaki itu yang tengah sibuk dengan laptopnya. Tak lupa aku
menyisipkan sebuah senyuman.
“Oke aku juga mau
pulang sebentar lagi.” Jawabnya sambil menatap mataku dan aku pergi
meninggalkannya.
Aku berjalan menuju
mobil dengan keadaan senyuman masih terlihat mekar di bibirku. Bayangan
senyumnya masih ada. Ku rasa aku seperti orang gila kali ini. Yang kemarin
jarang bahkan hampir tak pernah mengeluarkan senyuman, sekarang malah tersenyum
tak ada hentinya.
***
Sesampainya di rumah
aku langsung berbegas mandi dan mengerjakan tugas kuliah yang sudah menanti. Aku
menuju tempat tidurku dan aku mendapati ada pesan masuk di handphoneku yang biasanya aku tak pernah mendapatkannya kecuali
dari operator saja. Aku bergegas membuka.
“Pastikan senyum
manismu kan tetap terjaga dimanapun dan apapun keadaannya. Belajarlah dari sang
bulan yang selalu bersinar terang saat langit sedang kelam maupun terang. Saat
sang keadaan sang bulan sedang lengkap maupun berkurang. Aku sang kopi hitam.”
“Kopi hitam. Kenapa
bisa tahu nomor handphoneku?”
Pertanyaan mulai muncul dalam benakku.
Aku bingung harus
menjawab apa, kata-kata yang muncul dari mulutnya selalu mendorong otakku tuk
berfikir lebih lama karna memang tak mudah dicerna. Aku membalas pesan
singkatnya dengan seadanya. Tapi sayang, dia tak membalasnya lagi.
“Kenapa tadi nggak
kenalan? Bodohnya.” Gerutuku dalam hati karna ada sedikit penyesalan. Akupun
segera tidur karna hari sudah hampir tengah malam.
***
Hari yangku lewati
akhir-akhir ini terasa lebih sepi. Keluargaku pergi keluar kota karna ada acara.
Dan kesendirianku sekarang lebih sering ku isi dengan lamunan. Lagi-lagi aneh, lamunanku
sering terisi oleh dia, kopi hitam. Aku baru hampir 2 bulan mengenalnya tapi
entah mengapa aku merasakan rasa yang berbeda. Dia seketika merubah duniaku
yang hanya memiliki 1 warna menjadi dunia pelangi begitu saja.
Semakin cepat waktu
berjalan di tempat dan semakin lama aku tak melihat sosok lelaki yang ada
dilamunanku tempo hari. Tak ada kabar sedikitpun darinya. Mungkin hanya
sesekali dia mengirim pesan singkat untukku. Aku tak mengerti dengan apa yang
aku rasa ini.
“Apakah ini cinta? Tak
mungkin secepat ini, aku tak pernah jatuh cinta sebelumnya. Tapi jika ini cinta
sesederhanakah ini semua? Memikirkanmu, bayangmu muncul dalam lamunanku, dan
dada ini serasa tak kasat saatku berdiri disampingmu. Cinta? Tidak. Bukan
cinta.” Ucapku sambil menatap kontaknya yang ada di phonebookku. Tiba-tiba handphoneku
bunyi. Ada orang yang menelfonku,.
“Privat number? Siapa?” Kataku dalam hati. Aku takut ingin
menjawabnya, tapi.. Aku akan coba.
“Hai, Karin! Kamu lagi
apa? Aku ganggu nggak?” Sambarnya dengan tiba-tiba. Aku terdiam. Aku tak
menjawab apa-apa.
“Kok diem? Oh maaf,
pasti kamu bingung. Aku Bastian, kopi hitam. Hehe” Deg. Jantung ini seakan berhenti
sejenak. Aku masih saja tetap terdiam.
“Rin? Karin? Riiiinnn?!
Yaudah aku ganggu kayaknya. Bye..”
“Eh iya, Bas! Nggak ganggu kok. Nggak sama sekali. Ada
apa tumben telfon?” Jawabku dengan sedikit grogi.
“Nah gitu dong. Nggak
ada apa-apa kok, Rin. Cuma kangen aja sama kamu lama nggak ketemu hehe” Kata
Bastian sambil bercanda. Tapi aku tak tahu sebenarnya dia bilang gitu tulus
dari hati atau hanya bibir semata.
Perbincangan ini sangat
cepat berlalu, sampai-sampai tak terasa sudah tengah malam. Aku berpamitan pada
Bastian karna kantuk mata ini sudah tak tertahankan.
“Bas udah dulu ya besok
lanjut lagi, udah ngantuk nih.” Kataku dengan nada agak lemah.
“Oh iya Rin udah tengah
malem juga, maaf ya ganggu tidurmu hehe yaudah bye Rin..”
Aku belum sempat menjawab
telfon Bastian sudah diputus. Yasudahlah tak apa. Masih ada waktu panjang.
Akhirnya akupun tidur.
***
Entah mengapa setelah
malam saat Bastian menelfonku, sifat dia berubah padaku. Dia sekarang kerap
menghubungiku tuk menanyakan kabarku. Tak lupa perhatian manis selalu ia
tunjukkan padaku. Bertemu dengannyapun menjadi hal yang biasa sekarang. Tak ada
rasa canggung, hariku selalu terisi oleh senyuman.
Rasaku pada Bastian
semakin kuat. Semakin berdiri tegap tanpa goyah karena goncangan tanah. Akarnya
sudah benar-benar terikat dengan zat yang paling berarti; hati. Tapi aku takut
jika aku terlalu cepat tuk mengatakan bahwa ini cinta. Aku belum siap menerima
kenyataan bahwa ini hanya sebuah pelampiasan dan rasa ini hanya akan hinggap di
perbatasan dan hilang kembali saat mulai berjalan lagi. Dan akupun memutuskan
tuk berdiam diri disaat rasa ini berkembang lagi dan lagi.
Jam dinding mepercepat
gerakan jarumnya. Waktu demi waktu berlalu. Aku dan lelaki itu; Bastian semakin
mengenal satu sama lain dan semakin sering komunikasi kami.
“Lelaki ini benar-benar
sudah merubah duniaku. Andaikan dia menjadi pendambing dalam hidupku, kanku
jaga ia selalu.” Anganku dengan memeluk handphone
yang ku genggam erat.
***
Aku merasa hari ini
merupakan hari yang terlalu sepi tukku nikmati sendiri. Benar-benar tak ada
sosok berarti yang mengelilingiku sampai saat ini. Aku putuskan untuk pergi ke
kedai biasanya, siapa tahu aku bisa mengilangkan rasa penatku.
Seperti biasanya aku
memesan secangkir kopi hitam dan mencari bangku yang masih ada celah tukku isi.
Kali ini tak ada harapan sama sekali tuk bisa bertemu dengan Bastian. Memang
tak ada rasa ingin bertemu dengannya.
“Nah akhirnya ada kursi
kosong.” Syukurku dalam hati. Aku bergegas duduk dan mengeluarkan laptop dan charger yangku bawa tadi.
“Bastian! Lantas wanita
yang ada di sampingnya siapa?” Ucapku dalam hati setelah mendapati Bastian
dengan wanita bebincang akrab tepat di depanku.
“Hai Karin!” Sapa
Bastian tiba-tiba di tengah asiknya obrolan mereka. Wanita yang berada di sampingnyapun
turut menoleh padaku. Dan ternyata wanita itu Natalli, teman kecilku.
“Hai, Bas” Jawabku
dengan santainya dan aku masih tetap bingung mengapa Bastian bisa bersama
Natalli.
Aku langsung buang muka
setelah menyapa Bastian. Hati ini hancur. Molekul-molekul yang tadinya saling
berkaitan kini hancur kehilangan perekat. Aku mencoba untuk tetap menjaga
emosi.
“Calm down, Karin. Kamu wanita kuat.” Aku mulai menghibur diri, tapi
tak bisa lagi. Aku memutuskan tuk pergi mencari kenyamanan sendiri.
Aku menuju ke taman
dekat kampusku tuk menyari sebuah ketenangan. Syukur saat itu taman memang
sedang sepi tak ada penghuni dan cuaca kali ini begitu menyejukkan hati. Tapi
ternyata suasana luar tak mampu menyejukkan hati lebih dalam. Aku merasa
terpuruk sekali saat itu. Apakah aku salah jika aku hanya memendam ini semua.
Tiba-tiba aku mendengar
suara yang lirih sekali mengenai sampul buku yangku bawa. Aku melihatnya,
ternyata dia; tetesan air mata. Aku segera mengusapnya dari bukuku maupun
mataku. Takkan aku biarkan air mata ini dengan mudahnya menetes tak berguna.
Aku mencoba mencari
kesibukan lainnya agar aku tak terlalu memikirkannya. Aku memutuskan untuk
pergi ke mall. Memang jarang sekali
bahkan nyaris tak pernah aku mengunjungi tempat seperti itu kecuali yang
mengajak keluargaku dan itupun hanya saat hal-hal tertentu.
***
Setelah kejadian tempo
hari Bastian semakin memberikan perhatian untukku. Sungguh aku merasa sangat
bahagia, tapi disisi lain kejadian itu tak pernah lenyap dan menjadi bayang abadi.
Kali ini aku
benar-benar tak bisa memungkiri akan rasa sayang ini. Lamunanku, mimpiku,
hariku, bahkan tangisku selalu ada dia didalamnya. Kurang alasan apa jika ini
memang cinta?
Siang itu, lamunanku
terhenti berkat seseorang mengirim undangan untukku. Aku tak tahu itu undangan
apa. Baru kali ini aku mendapatkan undangan untukku sendiri, bukan untuk ayah
atau bunda. Aku membukanya dengan cepat karna sudah penasaran.
“Pernikahan Bastian
dengan Natalli.” Bacaku dengan sangat lesu. Undangan yangku bawa terjatuh
begitu saja. Air mata ini mengalir tak ada hentinya.
“Apa maksud dari semua
ini, Bas? Mengapa kau datang jika kepergianmu sudah kau rencanakan. Mengapa
membuat kenangan jika hanya akan mempercepat kepergian? Mengapa kau terangi
duniaku jika akhirnya kau lagi yang menjadikan kelam? Mengapa Bas mengapa!”
Ucapku bertubi-tubi dengan badan yang sangat lemah dan aku terjatuh dalam
dinginnya lantai rumah.
Aku benar-benar tak
mengerti mengapa Bastian seperti ini. Lalu apa gunanya perhatian yang slalu ia
berikan padaku akhir-akhir lalu. Dia lelaki jahat. Dia tak pernah mengerti
perasaanku. Aku benci dengan dia.
Aku berniatan tak akan
datang dalam undangan pernikahan Bastian. Terlalu menyakitkan untukku. Aku
berdiri, mengambil undangan yang terbuang tadi dan aku akan membakarnya
sekarang juga. Setelah aku mengambilnya, ada selembar kertas yang terjatuh dari
dalam. Aku mengambillnya.
“Tak ada yang lebih
indah selain mawar merah yang memancarkan sinar cerah. Tak ada yang lebih
berharga selain benda pemberian orang yang kita cinta. Dan tak ada yang lebih
berarti selain bersama manusia-manusia yang terdekat kita. Tapi ada 1 yang
lebih dari segalanya, saat kau berada di hati. Bukan maksudku menyakitimu, apa
lagi mempermainkan perasaanmu. Bukan salah kita yang hanya saling memendam
rasa. Aku tahu kau mencintaiku, aku tak sengaja membaca tulisan dalam laptopmu
saat kau pergi. Tapi tak ada guna walaupun kita mempunyai rasa yang sama. Bukan
karna aku hanya angan kelammu, tapi pendamping yang telah dipilihkan orang
tuaku telah menanti. Aku tak bisa menolak lagi sekalipun hanya kaulah yang ada
di hati. Maafkan aku, Karin. Sepenggal surat ini mungkin memang tak berarti
untukmu. Tapi berkat ini, kau akan tahu jika aku juga menyayangimu. Aku
sang kopi hitam.”
Air mata ini meluncur
dari pelindungnya. Sungguh tak tertahankan sakit yang ku rasa. Aku menyesal.
Aku benci pada diriku sendiri. Mengapa aku tak mempunyai cukup nyali untuk
membicarakan semua ini agar sakit yang ku terima pada akhirnya tak separah dan
sepahit sekarang. Penyesalan memang terjadi pada akhir kenyataan. Dan saat ini
aku memang tak bisa melakukan apa-apa selain menjalani dan menerima semua ini.
Aku yakin Tuhan menyayangiku dan Tuhan kan membawa kebahagiaan setelah sakit
yang begitu dalam.
“Aku memang mencintaimu,
Bas. Aku akan bahagia jika kau menjadi milikku sekarang ataupun dimasa yang kan
datang. Tapi Tuhan tak berkehendak seperti apa yang ku mau, Tuhan memiliki
jalur yang berbeda tukku jalani. Tapi aku tak pernah menyesal pernah
mengenalmu. Kelak kita kan berjumpa dengan manusia yang memang Tuhan ciptakan
untuk mendampingi kita. Kopi hitam memang tak mengajarkanku tentang kehidupan
yang kelam, ia memberikan sedikit rasa tukku nikmati sekarang juga. Tapi 1,
kopi hitam yang membawaku menuju angan kelam; memilikimu dengan cara mencintai
dalam diam.” Tulisku dalam buku diary
yang basah karna tetesan air mata payah.
“Aku mencintaimu,
sangat mencintaimu Bastian.” Ucapku dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar