MENCINTAIMU DALAM DIAM AKANKAH HANYA KAN
MEMBUATMU MENJADI SOSOK MANUSIA IMPIAN
YANG CUKUP ADA DI DALAM ANGAN?
Anak papa, manja, cengeng, dan tentunya penakut
ada pada diriku. Tak bisa lepas dari ayah, selalu ingin dengannya. Tapi anak
papa tak berarti selalu benar dimata ayahnya, aku contohnya. Hidupku selalu
dibelenggu untaian-untaian kata yang pada dasarnya semua sama, tak bersyukur
atas karunia. Ayahku selalu menuntutku untuk jadi anak yang baik dalam segala
hal. Selalu disamakan dengan orang lain sudah biasa disini, tak heran lagi.
Hampir semua yang ku lakukan tak benar, menyulut perselisihan dan akhirnya
pecah entah brantah. Tapi aku tak pernah menyalahan ayahku yang selalu seperti
itu, aku tahu semua ini tak kan terjadi jika tak bersumber dari diriku sendiri.
Mungkin ayah seperti ini hanya ingin aku menjadi peribadi yang lebih baik lagi.
Tapi aku sangat bersyukur
saat kelulusan SMP aku bisa masuk ke sekolah SMA yang memang merupakan salah
satu sekolah favorit di kotaku. Saat pengumuman penerimaan calon peserta didik
baru jantung ini serasa sudah tak ingin menjadi satu tubuh dengan anggota badan
lainnya. Serasa ingin mendongkrak dan melaju dengan kencangnya. Dan setelah aku
tahu aku ketrima rasanya ingin ku peluk erat ayah tanpa menghiraukan jarum jam
mengarah dan akan tetap seperti itu sampai ku benar-benar mampu melepas
kebahagiaanku.
Sudah hampir gila
memikirkan Penerimaan Peserta Didik Baru, aku akan jauh lebih gila memikirnya
masa MOS yang akan dilakukan selama 4 hari. Itu lama, apa lagi kalau OSISnya
berulah. Aaa pikiran ini sudah keliling kemana-mana. Tak ada sedikitpun pikiran
apik tertata dalam benakku. Aku melewati masa MOS dalam keadaan tubuhku sedang
tak lagi normal.
Hal yang aku dan manusia tercintaku takutkan terjadi. Aku
berada pada titik panasnya matahari, demi Tuhan aku tak kuat dengan semua ini
dan tiba-tiba aku tak berdaya. Dada ini seakan terikat dengan kencangnya.
Seakan ada yang menutup jalur nafasku. Aku menangis dengan kencangnya, aku
berpegang erat pada tangan seseorang yang takku kenal. Dan setelah aku membuka
mata.. Ya Tuhan, makhluk mana dan makhluk apa yang Kau ciptakan tepat didepan
mataku ini? Lelaki berambut hitam kental, tinggi dan berkulit sawo matang mengubah
sakitku seketika menjadi dunia jenaka yang tak mengenal duka didalamnya.
Waktu berputar begitu
mudahnya. Dan aku mulai mengerti dunia
memang tak selalu berpihak pada kemauan kita. Terdapat tawa dalam setiap duka,
dan begitupun sebaliknya. Tak hanya pada kehidupan keluarga, semuanya
berpotensi sama. Tahun demi tahun terlewati. Semakin lama di dunia semakin
banyak pula manusia yang ku jumpa. Masih tetap sama, ada
satu lelaki yang ku kagumi dari awal ku kenal sampai saat ini. Siapa lagi kalau bukan
lelaki yang ku genggam erat tangannya saat aku sakit pada masa MOS awal masuk
dulu. Kita saling mengenal, tapi ku rasa
cinta ini hanya akan tumbuh berkembang dalam diam, Kevin namanya.
“Hai
Dinda! Mau kemana?” Sapa Kelvin dengan senyuman
manisnya.
”Hai,
kak. Aku mau ke perpustakaan. Kebetulan jam kosong.” Jawabku dengan senyum
tulus yang terdapat warna merah diatas pipiku. Sungguh jantung ini
berdebar dengan kencang.
“Kamu
rajin. Yasudah sana.” Lanjut Kelvin dan akupun hanya mengakhiri dengan senyuman
manja.
Tingkahku
menjadi tak karuan setelah dia lenyap dari pandangan. Sungguh tak bisa ku
ungkapkan bagaimana isi perasaan ini. Tapi aku harus sadar dan ingat, Kelvin sudah mendapat
sosok wanita yang sempurna dimatanya.
Hayalan saja jika ku bisa dekat dengannya.
Waktu KBM telah usai. Saatnya
pulang. Sampai di rumah, inilah dimana saat untuk istirahat. Aku merebakkan tubuhku
dan mempunyai niatan untuk tidur.
Sialnya
aku terbangun saat fase nyenyakku karena handphoneku bergetar; ada pesan masuk. Agak malas
membukanya, ku fikir itu operator saja. Tapi aku harus tetap membuka, siapa tahu penting. Dan saat ku buka.. Ya Tuhan! Ternyata pesan dari,
KELVIN!
“Hallo Din”
Percaya
tidak percaya. Dalam hatiku sangat bahagia mendapati itu. Tapi disisi lain aku
merasa agak canggung mengingat status dia yang sudah
memiliki pasangan. Sudahlah takkan ku sia-siakan kesempatan ini. Aku
cepat-cepat membalas pesan singkatnya. Benar-benar tak ku sangka aku bisa
sedekat ini dengannya. Ku kira dia hanyalah manusia impian yang selalu jauh di
angan dan selalu diterpa berbagai perbedaan.
Memang ini bukan untuk
yang pertama kalinya Kelvin mengirim pesan singkat untukku. Dia memang selalu
memperhatikanku, kadang. Tapi jika dia sudah bahagia dengan pacarnya, apa boleh
buat? Aku ditinggal begitu saja. Tak hanya itu. Dia pernah juga marah denganku,
ya memang ini mutlak kesalahanku tapi dia tetap saja menghubungiku, untuk
pelampiasan. Tapi entah mengapa aku menikmati caraku memendam rasa ini,
walaupun sebenarnya menyakitkan. Tapi aku tetap merasakan kebahagiaan di
dalamnya. Rasa ini terus berkembang pesat untuk Kelvin tapi caraku tetap saja
sama, hanya bisa memendam tak mampu mengutarakan.
Obrolan
singkatku dengan Kelvin lewat via SMS berakhir
karna memang hari sudah malam dan kami harus
memenuhi kewajiban seorang pelajar; belajar. Kelvin memang anak yang rajin, Dia punya semangat tinggi untuk menggapai cita.
Dia akan lakukan apa saja semampunya. Malam semakin
larut. Kantuk ini melanda mata indahku. Dan akhirnya aku putuskan untuk
mengakhiri belajarku malam ini.
Ku
rasa aku baru memejamkan mata 5 menit yang lalu. Tiba-tiba sudah bunyi saja
alarm rumahku. Masih dingin, malas rasanya ingin mandi. Tapi aku harus segera
mandi.
“Bunda
aku berangkat Assalamu’alaikum..” teriakku sambil aku berjalan keluar dengan menenteng helm kesayangan.
***
Tak
terasa sudah sampai di depan gerbang sekolahku.
“Terimakasih.
Hati-hati ya ayah.” Kataku sambil melihat
bola mata ayah.
“Iya anak ayah. Kamu jaga diri ya belajar yang tekun.” Balasnya sambil memegang kepalaku seperti
anak kecil yang sedang dinasehati oleh orangtuanya.
“Siap bos laksanakan!” Jawabku dengan tangan hormat
layaknya pendidikan baris berbaris dengan ayah dan ayah hanya tersenyum lalu aku berjalan ke dalam sekolahan.
“Selamat
pagi Din, diantar ya kok jalan kaki?” sapanya dengan
suara lantang yang tak asingku dengar.
“Hehe
iya tadi dianter sama ayah.” Jawabku dengan
nada polos sambil menoleh kepada sumber suara yang tadi telah menyapa. Seketika aku
ingin waktu dunia berhenti berputar. Aku ingin berlama-lama disini.
Kelviiiiinnn how handsome you are!!
“ciee
manja amat anak
papa hehe” jawab Kelvin dengan nada menggoda.
“Manja gapapa hehe yaudah aku duluan ya.” Jawabku dengan grogi
dan terpaksa mengakhiri semua ini.
Entah mengapa sehari ini aku kerap bertemu Kelvin. Setiap
keluar kelas slalu saja bertatap muka lalu terpancar senyum tulus dari bibir
manisnya. Semakin membuatku jatuh cinta saja manusia ini, dan yang jelas
semakin membuatku tak bisa berbuat apa-apa selain memendam rasa
sedalam-dalamnya.
***
Akhirnya jam berakhirnya KBM bunyi. Tapi aku masih harus
tetep di Sekolah. Iya sekarang hari Selasa dan aku harus masuk ekstra kulikuler
di Sekolah. Akhirnya ekstrapun selesai, waktunya pulang. Aku berjalan ke
parkiran, aku bingung mencari motorku dimana kenapa nggak ada padahal sekarang
udah sepi kaya gini pula.
“Cari apa kamu, Din? Kok kaya panik banget gitu sih
kamu?” Sambar Kelvin tiba-tiba saat aku sibuk dengan kebingunganku.
“Aku cari motorku, aku lupa tadi naruh dimana.” Jawabku
tanpa memandang wajah Kelvin sedikitpun.
Kelvin tertawa geli setelah dia tahu aku kebingungan
mencari motorku. Aku hanya diam saja sambil sibuk melihat sekitar tempat
parkir.
“Kok kamu lucu gitu sih?” Ucap Kelvin dengan menyertakan
tawa gelinya yang membuatku semakin bertanya-tanya.
“Apaan sih kamu nggak lucu ya.” Jawabku dengan agak ketus.
“Kamu lucu Din. Masa iya kamu bingung cari motor orang
tadi pagi kamu dianter kan? Hahaha..” Gelak tawanya semakin mereba kemana-mana
“Ya Tuhan aku lupa. Aduh udah jam segini nggak mungkin ayah
jemput aku pasti dia sibuk, mau cari tebengan siapa. Helmku? Astaga aku lupa!”
Ucapku bertubi-tubi dengan muka anehku yang semakin terlihat tolol.
Tak sempat aku mendengar jawaban Kelvin aku langsung
pergi menuju kelas tempat terakhir ku huni tadi. Sialnya aku. Helm sudah
ditangan, menuju gerbang depan siapa tahu ada orang yang bisa ku suruh untuk
mengantarku pulang.
“Pulangnya gimana?” Sapa Kelvin tiba-tiba saatku berjalan
dengan lunglainya.
“Enggak tahu. Coba
telfon ayah dulu aja deh semoga bisa jemput” sahutku dengan tetap berjalan tak
memperhatikan keberadaannya.
“Kalau aku yang nganter, gimana?”
Langkahku terhenti tiba-tiba saat mendengar tawarannya.
Ini pasti mimpi aku yakin ini mimpi tak mungkin aku tadi sial tak tertolong dan
sekarang... ini mimpi, pasti ini mimpi. Aku cubit pipiku, terasa sakit sekali.
Aku cubit tanganku, semakin sakit.
“Ini bukan mimpi ya Tuhan ini bukan mimpi!!” teriakku
dalam hati
“Kau tak lagi sakit? Macam mana pula kau ini bisa-bisanya
kau bercanda diatas kegundahan ini” Sautku dengan wajah harap-harap cemas
dengan sedikit bercanda.
“Mata ini kurang serius apa lagi? Harus dengan apa
membuatmu percaya? Ucap Kelvin dengan manisnya sambil menatap mataku.
Seakanku tak ingin pergi menjauh dari tempat itu. Tak ada
kata yang bisa ku keluarkan untuk menolak sebuah tawaran Kelvin yang sangat
jarang bahkan hampir tak pernah ia berikan pada setiap orang, kecuali pada sang
pacar. Aku hanya terdiam, membisu tanpa ada sedikitpun untaian kata dari
mulutku. Ku menatap matanya dalam-dalam, aku masuk dan aku terjatuh dalam
tatapan mata yang pernuh harapan.
“Enggak usah repo-repot.” Kataku dengan sangat terpaksa
tuk menolak semua ini. Tak lupa ku sisipkan senyuman tulus untuk dia sebagai
pelengkapnya.
“Ini udah sore, nanti kalo ayah ga bisa jemput? Gimana?
Kamu sendirian. Kamu mau pulang sama siapa?” Katanya bertubi-tubi seakan aku
harus mengiyakan sebuah tawaran mahal.
“Tenang aja, seribu jalan menuju Roma hehe” Akupun
berusaha mencairkan suasana agar tak secanggung ini sambil berjalan menuju
halte yang ada didepan sekolah.
“Iya tapi kan kamu itu cewek.....”
“Kak, aku beranjak dewasa. Semua akan baik-baik saja.
Udah kamu pulang aja aku ga enak sama temenmu nanti kalo ada yang tahu.” Belum
selesai dia berkatapun aku sudah memotongnya.
“Yaudah aku pulang duluan. Nanti kalo ga ada yang jemput sms
aku aja. Aku siap mengantar hehe” Kata terakhir yang dia ucapkan sekaligus
akhir dari perbincangan ini karna aku hanya diam dan menganggukkan kepala
sambil tersenyum padanya.
Aku duduk di halte, sambil mencari kontak di handphoneku yang barangkali bisa
mengantarkanku pulang, segera. Sudah letih rasanya. Lapar perut ini tak
tertahankan lagi. Dan setelah aku hubungi beberapa orang, hasilnya nothing. Tak ada yang bisa menjemputku.
Padahal aku sudah menunggu 1 jam lamanya.
“Ayo naik. Cepat ini sudah hampir petang.” Ku dengar
suara motor menghampiriku dan sosok lelaki tepat berada didepanku.
“Kamu? Nggak, nggak akan. Kalau ada yang tahu mati aku.”
Gerutuku dalam hati dan aku hanya menatap matanya.
“Udah ayo cepat. Dari pada kamu nunggu lama. Udah yuk.”
Kelvin menarikku menuju motornya. Aku tak bisa menolak lagi.
Setelah kurang lebih 15 menit menempuh perjalanan
akhirnya sampai juga aku di singgasanaku. Kelvinpun langsung pulang karna
memang hari mulai petang. Aku berterimakasih padanya, dengan sangat tulus ku
ucapkan. Dan dia hanya memberikan senyuman sebagai jawaban. Aku bergegas masuk
dalam rumah dan langsung mandi.
***
Waktu terus berlalu. Dan seperti biasanya aku menjalani
hariku, sendiri. Besok sekolah akan mengadakan try out Ujian Nasional untuk kelas XII. Yey libur! Itu berarti
Kelvin besok akan bergulat dengan soal-soal mematikan. Aku yakin dia bisa
menghadapinya. Kan aku selalu menyemangatinya; dalam hati. Aku membuka handphoneku sebentar, memastikan besok
benar-benar libur.
“Selamat malam, semangat belajar, sukses mengerjakan Try Out dihari yang akan datang,kak”
Aku menulis pesan singkat
untuk Kelvin. Ingin sekali aku memberi semangat yang sesungguhnya; tak hanya ku
pendam dalam hati. Hanya tinggal memencet tombol send dan keinginanku terwujud.
Tapi apa daya. Sungguh aku sadar aku terlalu lemah tuk memulai dan mewujudkan
sesuatu yang indah. Aku berfikir cukup lama. Dan akhirnya aku mendapatkan
keputusan. Semoga hati ini sanggup. Aku tidak menekan tombol send dan pesan
singkat itu hanya menjadi kumpuan draft seperti pesan lalu-lalu yang selalu
hanya ku tulis dan tak pernah ku kirim padanya. Jika aku terus membiarkan
terbukanya mata ini aku hanya akan galau, resah, gundah gulana, atau apalah itu
semua. Mending tidur saja.
Entah kenapa aku semakin lama
kehilangan canda tawa Kelvin saja. Sudah lama aku lostcontact dengannya. Ku pikir ya dia sedang fokus dengan
sekolahnya karna memang Ujian Nasional semakin dekat dengan mata. Aku tak kaget
memang jika Kelvin datang dan pergi sesuka hati. Aku baru hampir 2 tahun
mengenalnya tapi entah dia berapa kali datang lalu pergi dariku. Tapi kali ini
aku merasa beda, Kelvin tak lagi sama dengan saat pertamaku jumpa.
“Aku bukan siapa-siapa, haruskah aku bertanya alasan apa
yang ia gunakan saat pergi dan aku begitu saja ditinggalkan? Lagipula dia sudah
mempunyai pasangan yang telah membahagiakan, untuk apa datang mencari hiburan
dengan orang sepertiku. Dan diapun juga tak pernah tahu bahkan tak ingin tahu
tentang rasa yang selama ini hanya ku pendam.” Ucapku dalam hati.
Waktu terus saja berputar
tanpa henti sedangkan Kelvin tetap dalam posisinya sendiri. Sampai-sampai ada
teman Kelvin yang mendekatiku, namanya Dewa. Tapi tetap saja mau semanis apa
tingkahnya dia takkan bisa menggati Kelvin disini; hati. Tak ada yang bisa
mengganti Kelvin. Dia tetap lebih menonjol jika dibanding dengan yang lain.
***
Takku sangka. Kelvin
datang begitu saja saatku mulai merasa terbiasa tanpa hadirnya. Aku bingung aku
harus bagaimana menanggapinya. Aku seakan sudah lelah didatangi dan ditinggal
lari. Tapi disisi lain aku juga tak bisa membohongi diriku sendiri jika aku
memang tak bisa membiarkannya pergi lagi. Akhir-akhir ini dia sering
menghubungiku, menanyakan kabarku dan juga hubunganku dengan Dewa, temannya.
Entah kenapa dia sering menanyakan itu padahal jelas-jelas aku tak mempunyai
hubungan apa-apa.
Bukan Kelvin jika tak datang lalu pergi meninggalkan
harapan. Lagi-lagi dia pergi setelah dia memberikanku sejuta kebahagiaan tempo
hari. Aku berusaha tegar mengadapi rintangan. Tapi aku menerima sepucuk surat
darinya lewat temanku.Ia menitipkan suratnya meminta untuk diberikan padaku
saat wisuda kelas XII terlaksana. Memang saat wisuda aku tak melihat batang
hidungnya sama sekali.
“Kamu tetap kamu yang tak bisa disamakan dengan orang
disekelilingku. Tak ada kata tak berarti dalam hidup ini. Apa lagi kamu. Kamu
begitu ternilai dimataku, terlalu berarti dalam hidupku, dan tertalu penting di
hariku. Apakah kau pernah tahu jika sebelum aku tidur aku slalu memandangi
fotomu yang ada di handphoneku?
Apakah kau tahu jika aku slalu menulis sebuah pesan singkat untukmu tetapi tak
pernah sanggup aku tuk mengirim padamu? Apakah kau tahu aku slalu lewat didepan
kelasmu hanya ingin memastikan penyakitmu tak lagi menghampirimu? Dan apakah
kau tahu saat aku bersama wanita yang tlah mendampingiku, aku slalu berharap
kelak kaulah yang akan ada disini; disampingku berjalan menemaniku? Apakah kau
tahu? Ku rasa tidak, kau tak pernah mengerti akan rasa pada hati kecil ini.
Sakit memang saat aku tahu kau dekat dengan orang lain sedangkan kau tak pernah
membukakan lorong hatimu sekecil apapun itu. Tapi aku tak menyalahkanmu. Ini
juga salahku. Iya salahku yang tak berani mengutarakan perasaan yang
sebenarnya. Aku terlalu takut jika kenyataan pahit yang harusku terima. Aku tak
mau cepat-cepat mengetahui jika kau takkan pernah ada disisiku, apalagi
mencintaiku. Kini aku sudah pergi, sejauh mata memandang kau takkan pernah
menemukan. Maaf aku tak bilang padamu, aku takut jika aku tak sanggup pergi menjauh
darimu karna memang kaulah yang menjadi alasan mengapa aku tetap bertahan
disini. Maaf aku mengusikmu, aku hanya ingin tetap melihat senyummu walau dalam
gelap. Terimakasih kau telah mewarnai dan menerangi gelapku lalu kau
bangkitkanku dengan senyum manismu. Aku menyayangimu, Dinda. Tapi biarkan
sayang ini mengalir apa adanya dan berkembang dalam diamnya kasih sayang.”
Hatiku pilu membaca ungkapan rasa yang sebenarnya sama
dengan apa yang ku rasa. Pipiku basah, pipiku terpenuhi tesesan air yang tak
ada hentinya. Penyesalan ini sangat panjang ku rasa. Ingin rasanya aku teriak
sekencang-kencangnya memanggil nama Kelvin yang sudah pergi meninggalkanku
lagi.
***
“Kenapa kamu pergi begitu saja Vin. Kenapa kamu nggak
bilang dari dulu. Kenapa juga kamu nggak tahu aku ngrasain sama kaya apa yang
kamu rasain. Kenapa kamu dan aku sama-sama takut memulainya. Kenapa Vin
kenapa!!” Teriakku dengan lantangnya karna saat itu danau yang biasaku kunjungi
saatku merasa sendiri sedang sepi.
Tak ada yang menenangkanku
karna memang aku tak mengajak satupun teman. Aku sengaja karna aku ingin
mengungkapkan duka lara yang setelah sekian lama ku pendam sedalam-dalamnya.
Tangisku semakin tak bisa dibendung, aku memeluk erat-erat dalam dada boneka
yang Kelvin beri padaku sambil menggenggam sepucuk suratnya.
“Mata indahmu tak lagi
indah jika kau pakai tuk mengeluarkan air tak berati itu.” Terdengar suara yang
benar-benar tak asing ditelingaku. Aku tetap diam, tertunduk lesu.
“Kamu yakin hanya akan
mendiamkanku seperti ini? Takkan ada penyesalan jika aku pergi?” Lanjutnya
dengan nada lembut.
“Tolong, aku hanya sedang
ingin sendiri.” Jawabku
“Sekalipun yang ingin
menemanimu aku, kau tetap ingin sendiri?” Suaranya semakin dekat dengan
telingaku, aku menoleh ke sumber suara. Air mataku semakin tak dapat dibendung.
Isak tangisku semakin menggebu melihat siapa yang ada disampingku.
“Masih mau melanjutkan
tangismu, Din?” Ia mencoba mencairkan suasana sambil tersenyum simpul padaku.
“Tapi, kenapa kau ada
disini? Kau bilang kau pergi? Lalu?” Belum selesai pertanyaanku dia
menghentikanku dengan menyodorkan jari tunjuknya ke mulutku.
“Kamu, alasanku datang
kembali dan kan tetap bertahan disini" Dia berbisik padaku.
Jauh dibelakang sana aku
melihat sosok wanita yang tak asingku lihat. Aku mengkerutkan dahi berharap
wajahnya semakin jelasku lihat dari sini. Dia mendekat padaku dan Kelvin. Dari
sini aku bisa melihat dia tersenyum pada kami yang memandangi. Dan ternyata,
hati ini hancur seketika setelah melihat dia Marsha; pacar Kelvin. Aku segera
menjaga jarak dengan Kelvin dan menghapus air mataku.
“Tak usah pergi, tetaplah
di posisi semulamu Din.” Kata Marsha tiba-tiba dengan tersenyum sangat tulus.
“Aku harus pergi. Maaf.”
Jawabku terburu-buru dan bergegas berjalan menuju motorku. Tapi Marsha
mencegahku tuk pergi, dia memegang tanganku erat-erat.
“Bukan kamu yang harusnya
pergi, tapi aku. Kau yang layak tuk tetap disini. Aku tahu kalian saling
mencintai, hanya saja aku yang menjadi penghalang kalian tuk berinteraksi. Aku
menyayangi Kelvin, aku bahagia jika dia menjadi milikku tapi aku jauh akan
lebih bahagia jika dia bersama orang yang dicintainya.” Jelas Marsha padaku
sambil iya menggandengkan tanganku dengan tangan Kelvin.
Aku tak bisa berkata
apa-apa. Lagi-lagi tetesan air mata ini membasahi pipiku. Tiba-tiba Kelvin
memelukku dengan eratnya, sama eratnya ketika aku memeluk bonekanya.
“Aku menyayangimu, sangat
menyayangimu Dinda. Jangan pergi dariku dan tetaplah menemaniku menjalani hari.
Jangan kau gunakan diam sebagai caramu padaku, katakan dan aku akan terap
bertahan” Kata Kelvin dan ia semakin erat memeluk tubuh mungil ini. Marsha
sedikit demi sedikit pergi meninggalkan kami.
“Akupun juga menyayangimu,
jangan lagi kau datang dan pergi. Datanglah tuk bertempat tinggal, bukan
singgah karna lelah.” Jawabku dengan isak tangis yang belum juga berhenti.
“Terimakasih Tuhan, aku bersyukur padamu. Mencintai dalam
diam hanyalah akan menjadi angan kelam saatku takkan datang meminta harapan.
Sangat sakit memang, tapi kesabaran yangkan membawaku ke hidup yang terang. Aku
menyayangimu, Kelvin.” Tulisku dalam secarik kertas putih dan ku bentuk perahu
laluku jatuhkan ke danau agar dia bisa berlayar mencari kenyamanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar